Brand management ternyata mempunyai aspek yang luas, mungkin lebih luas dari dugaan kita. Cerita dari bagian General Affairs salah satu kantor dapat menggambarkan salah satu sudut pengelolaan merek, yang sering terluput dari perhatian kita. Bagian pembelian kantor dahulu berlangganan sebuah merek AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) “terkenal”, karena merasa sangat yakin terhadap kualitasnya walaupun harganya lebih mahal daripada merek lainnya. Benefit yang diperoleh dianggap lebih tinggi daripada pengorbanan uang (monetary sacrifice), sehingga perceived valuenya tinggi dan muncul keputusan untuk memilihnya.
Selama berlangganan kualitas produknya tidak pernah menimbulkan keluhan dan sesuai dengan harapan. Harapan yang terbentuk oleh brand image – bahwa AMDK tersebut melalui proses pengelolaan yang higienis dan terjaga kualitasnya – terpenuhi sehingga kepuasan terhadap produk tinggi. Ingat, konsumen sebenarnya tidak melakukan pengujian kualitas dalam arti yang sesungguhnya, tetapi lebih berdasarkan opini mereka, alias berdasarkan perceived quality.
Namun tidak demikian dengan kualitas layanannya. Para pengirimnya tampak ogah-ogahan karena harus menaikkan ke kantor yang pada waktu itu berada di lantai sebelas. Beberapa lama kemudian pasokan dari mereka mulai mengalami keterlambatan, sehingga bagian general affairs kelabakan dan harus membeli AMDK botol untuk mengatasinya. Kejadian ini berlangsung beberapa kali, dan puncaknya terjadi ketika ada karyawan penagihan perusahan itu ‘menilep’ beberapa galon, dengan menagih lebih dari pembelian yang seharusnya.
Tentu ini sangat mengecewakan, dan bagian GA pun memutuskan pindah ke merek lain, sebuah merek yang ‘tidak terkenal’, dengan harapan karena pelanggannya sedikit mereka dapat lebih care terhadap pelanggan. Dan ternyata benar, perusahaan kecil yang mereknya tidak terkenal ini dapat memberikan layanan yang lebih baik, dan tidak pernah sekalipun terlambat.
Tetapi apa yang terjadi beberapa tahun kemudian ? Ketika ruang meeting diberi dispenser agar para peserta meeting langsung bisa menyeduh sendiri minumannya, merek AMDK yang ‘tidak terkenal’ ini digusur karena kurang bergengsi, kurang representif untuk ‘mejeng’ di depan tamu alias tidak memiliki brand image yang layak. Bagian GA pun akhirnya kembali kepada merek ‘terkenal’ dengan harapan layanannya sudah membaik, apalagi menurut informasi telah terjadi pembenahan manajemen.
Dari cerita di atas kita dapat menarik dua hal, yaitu merek terkenal – tapi layanannya kurang bagus - dan kedua merek “tidak terkenal” yang layanannya bagus, tapi kurang memiliki brand awareness..
Sebagai pemilik merek “terkenal“ yang memiliki brand image yang bagus, mereka dapat menjual dengan harga premium (premium price) dan menarik manfaat price premium sebagai bagian dari brand equity. Price premium adalah ambang batas selisih harga, sebuah titik ketika konsumen merasakan selisih harga tetentu akan mengubah keputusannya dan berpindah ke merek lain yang lebih murah. Misalnya, Intel selalu melakukan price premium measurement ini. Setiap minggu pewawancara Intel mendatangi toko-toko komputer untuk menanyai pengunjung berapa besar diskon yang harus diberikan kepada sebuah komputer agar pembeli berpindah untuk membeli komputer lain tanpa label "Intel Inside". Kita tahu, AMD sebagai kompetitor terberat Intel menawarkan harga yang lebih murah hingga 39 persen. Dengan harga lebih tinggi dari kompetitor karena ‘kesaktian merek’ pemilik merek yang kuat, mempunyai potensi untuk mengeruk laba yang lebih tinggi, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanannya.
Sayang sebagai pemilik merek AMDK terkenal mereka kurang berhasil membangun brand-customer relationship yang baik. Padahal di sinilah proses pemeliharaan hubungan dengan pelanggan, agar pelanggan tidak lari kepada kompetitor. Seperti kasus AMDK ini, ketidakpuasan konsumen bukan terhadap produknya, tetapi lebih kepada layanan dalam menghantarkan value kepada pelanggan. Dalam menyediakan layanan ini, ‘mesin produksinya‘ adalah manusia dan ‘produknya’ adalah perilaku dalam berhubungan dengan para pelanggan. Jadi sangat tergantung bagiamana mengelola manusia agar dapat ‘memproduksi’ perilaku tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Yang ‘dijual’ bukan hanya air dalam botol saja, tetapi juga menjual sejumlah ‘perilaku’ yang disebut layanan pendukung.
Disinilah letak pendekatan holistik dalam pengelolaan merek mesti diletakkan. Mengelola merek bukan masalah iklan doang, atau masalah komunikasi pemasaran belaka. Di belakang brand image yang telah dibentuk dengan susah payah melalui kegiatan komunikasi pemasaran, harus ada ‘pasukan’ yang kompak bertindak seia-sekata dalam memenuhi janji yang telah melekat di benak konsumen. Sebuah bentuk komunikasi ‘nyata’ berupa interaksi dalam memenuhi harapan konsumen. Sistem kerja lintas fungsional harus berjalan untuk mendukung brand-customer relationship. Dan sebagai konsekuensi dari pendekatan lintas fungsional tersebut harus disertai konsistensi yang tinggi, sehingga anggota organisasi tidak melakukan berdasar interpretasinya sendiri-sendiri. Apalagi berdasar kepentingannya sendiri-sendiri yang dapat merusak brand image yang terbentuk.
Pada kasus merek ‘tidak terkenal’ yang mempunyai kualitas layanan baik, unsur komunikasi pemasaran menjadi kelemahannya. Seberapa bagus kualitas produk dan layannya, jika tidak disertai komunikasi pemasaran yang bagus, upaya ini menjadi sia-sia. Komunikasi kepada kepada para pelanggan harus bulat, sehingga para pelanggan juga menerima secara bulat. Inilah yang disebut sebagai strategic consistency, seperti pernah dilakukan Pepsi dalam Project's Blue untuk memerangi ketidakkonsistenan. Gerakan "its image is all over the map" bertujuan menyeragamkan warna dan nada Pepsi yang beragam.
Dalam pelaksanaannya, strategic consistency harus dilandasi oleh budaya perusahaan yang berlandaskan falsafah customer driven. Dalam budaya perusahaan tertuang nilai-nilai yang menyatukan gerak anggota organisasi, sehingga secara konsisten akan membawa dampak pada product & services performance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar